Pengertian Anak zina
Zina menurut Jurjani adalah
memasukkan penis (zakr = bahasa Arab) kedalam vagina bukan miliknya (bukan
istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan). Dari
pengertian ini bisa dipahami bahwa perbuatan zina jika ada dua unsure yaitu: a)
ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya, b) tidak ada
keserupaan atau kekeliruan dalam perbuatan seks.
Anak zina adalah anak yang lahir
dari hubungan tanpa pernikahan. Karena dilahirkan diluar pernikahan yang sah
biasa juga disebut dengan anak haram. Anak zina menurut pandangan Islam adalah
suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak
tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya yang tidak syah menurut hukum.
Didalam surat an-Najm ayat 38 Allah telah berfirman:
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Tanggung jawab mengenai segala
keperluan anak itu, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya yang
melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab, anak zina hanya mempunyai nasab
dengan ibunya saja. Demikian juga halnya dengan hak waris, sebagaimana yang
dinyatakan dalam sebuah hadits;
عن ابن عمر
ان رجلا لاعن امرأته في زمن النبي ص م وانتفى من ولدها ففرق النبي بينهما الولد
بالمرأة
Artinya:“Dari Ibn Umar bahwa seorang laki-laki telah meli’an istrinya dizaman
Nabi Muhammad SAW dan dia tidak mengakui anak istrinya (sebagai anaknya), maka
Nabi menceraikan antara keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada istrinya” (HR Bukhari san Abu Dawud)
Kedudukan Anak Zina
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak
bernasab pada laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya. Ia mengikuti nasab
kepada ibu yang melahirkannya, maka hal ini berakibat pula hilangnya
kewajiban/tanggung jawab ayah kepada anak dan hilang hak anak kepada ayahnya.
Antara keduanya adalah sebagai orang lain (ajnabiy). Secara nyata akibat
yang diterima oleh anak adalah:
a. Hilangnya martabat muhrim dalam
keluarga. Bila anak itu wanita maka antara bapak dengan anak itu dibolehkan
menikah,
b. Hilangnya kewarisan anak dengan
bapaknya. Hal ini dikarenakan anak zina tidak mempunyai hubungan kekerabatan
dengan bapaknya.
Dalam hukum Islam anak tersebut
tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah dan berakibat; 1) tidak ada hubungan
nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya, 2) tidak ada saling mewarisi
dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi dengan ibunya saja, 3) tidak
dapat menjadi wali bagi anak perempuan karena dia lahir akibat hubunngan diluar
nikah.
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan
tegas mengatakan bahwa zina itu termasuk tindak pidana, dengan alasan-alasan;
a. Zina dapat menghilangkan nasab
(keturunan) dan dengan sendirinya menyia-nyiakan harta warisan ketika orang
tuanya(tidak sah) meninggal dunia,
b. Zina dapat menularkan penyakit yang
berbahaya bagi orang yang melakukannya sperti penyakit kelamin dan sebagainya,
c. Zina merupakan salah satu sebab
terjadinya pembunuhan,
d. Zina dapat menghancurkan keutuhan
rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya, bahkan lebih dari itu dapat
memutuskan hubungan keluarga.
Mengenai status anak zina ada tiga
pendapat, yakni;
a. Menurut Imam malik dan Syafi’I, anak
zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu
dinasabkan kepada bapaknya,
b. Jika anak itu dilahirkan sebelum
enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya karena diduga ibunya itu telah
melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedangkan batas waktu hamil paling
kurang enam bulan,
c. Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina
tetap dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangan waktu
masa kehamilan si ibu.

0 komentar:
Posting Komentar