Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab diturunkan, tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum islam yang menduduki peringkat teratas . Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-wurud yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.
Autensitas serta orisinilitas Al-Quran benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Karena ia merupakan kalam Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya. Adapun kedudukan Rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. Apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
Al-Quran juga merupakan salah satu sumber hukum islam yang menduduki peringkat teratas . Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-wurud yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah SWT.
Autensitas serta orisinilitas Al-Quran benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Karena ia merupakan kalam Allah baik dari segi lafadz maupun dari segi maknanya. Adapun kedudukan Rasm Utsmani diperselisihkan para ulama. Apakah pola penulisan merupakan petunjuk Nabi atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Adapun pendapat mereka adalah sebagai berikut:
Jumhur Ulama berpendapat bahwa pola rasm Utsmani bersifat taufiqi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi SAW. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat, Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsentensi didalam penulisan baku, tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi’in.
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi. Hal ini karena, tidak ada nash baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.
Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk menulis al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan model tertentu. Karena itu, berbeda model penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah atau menguranginya (huruf-huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini hanya suatu cara. Karena itu, dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya masa lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan menurut gaya baru.”
Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm tauqifi berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Persoalan pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut karena pola penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang tidak akan mempengaruhi makna Al-Qur’an. Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’I, untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali antara satu dan lainnya. Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada rencana untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi Saw., ada juga lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya di ketahui oleh penulisnya.
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Ustmani tidak seperti yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara huruf ya dan ba. Demikian pula antara sin dan syin, antara tha dan zha, antara jim, ha, dan kha. Dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya karena rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika di sebelah Selatan, dan beberapa wilayah non-Arab lainnya di sebelah Barat. Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah, Irak, pada masa kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), riwayat lainmenyebutkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.
Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang sangat fatal, yakni surat at-Taubah. Atas perintah gubernur itu, as-Duwali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wau kecil di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa bagi konsonan mati.
Rasm al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa periode berikutnya. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an . Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid ad-Dawali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antar satu dengan lainnya. Misalnya, penambahan titik diatas huruf dal yang kemudian menjadi dzal. Penambahan yang bervariasi pada sejumlah huruuf dasar ba yang kemudian menjadi huruf ba, nun , ta dan huruf dasar ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra dibedakan dengan huruf za, huruf sin dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan dengan dhad, huruf tha dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan dengan ghin, huruf fa dibedakan dengan qaf.
Dengan demikian, menurut pendapat ini hukum mengikuti rasm Usmani adalah wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi, (taufiqi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa diantaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibukukan. Bahkan Imam Ahmad Ibnu Hambal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis Al-Qur’an menyalahi rasm Usmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Sebagian Ulama berpendapat, bahwa pola penulisan al-Qur’an dalam rasm Utsmani hanya merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi, tidak bersifat taufiqi. Hal ini karena, tidak ada nash baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menunjukkan adanya keharusan menulis al-Qur’an menurut rasm atau pola tertentu.
Sehubungan dengan ini, al-Qadi Abu Bakr al-Baqilani sebagaimana dikutip oleh Muhammad Rajab Farjani menyatakan sebagai berikut :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan untuk menulis al-Qur’an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabat, dan tidak juga melarang menulisnya dengan model tertentu. Karena itu, berbeda model penulisan al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka; ada yang menulis suatu lafaz al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz tersebut, dan ada yang menambah atau menguranginya (huruf-huruf tertentu), karena mereka tahu bahwa hal ini hanya suatu cara. Karena itu, dibolehkan menulis mushaf dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya masa lampau, dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan menurut gaya baru.”
Ulama yang tidak mengakui Rasm Utsmani sebagai rasm tauqifi berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al-Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Persoalan pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Jika pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut karena pola penulisan itu hanyalah simbol pembacaan yang tidak akan mempengaruhi makna Al-Qur’an. Sebagian Ulama lainnya mengatakan, bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Usmani tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat diperkuat Al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Usmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an.
Tampaknya, pendapat yang ketiga ini berupaya mengkompromikan antara dua pendapat terdahulu yang bertentangan. Disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an dengan rasm imla’I, untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca Al-Qur’an dengan rasm Usmani. Dan pendapat ketiga ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat. Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Usmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Usmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Usmani harus dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan. Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Usmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya.
Dari ketiga pendapat diatas penulis menarik kesimpulan bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Usmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang diketahui ummat Islam. Namun tidak lepas dari subtansi tulisan mushaf Usmani. Sebab berdasarkan sejarah dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Usman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekertaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
Hubungan Rasm Utsmani dengan Pemahaman Al-Qur’an
Pada mulanya, mushaf para sahabat berbeda sama sekali antara satu dan lainnya. Mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak ada rencana untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka, ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi Saw., ada juga lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dari tulisannya yang hanya di ketahui oleh penulisnya.
Pada masa permulaan Islam, mushaf al-Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Ustmani tidak seperti yang dikenal sekarang yang dilengkapi oleh tanda-tanda baca. Pun, belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara huruf ya dan ba. Demikian pula antara sin dan syin, antara tha dan zha, antara jim, ha, dan kha. Dan seterusnya. Para sahabat belum menemukan kesulitan membacanya karena rata-rata masih mengandalkan hafalan.
Kesulitan mulai muncul ketika dunia Islam semakin meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia disebelah Timur, Afrika di sebelah Selatan, dan beberapa wilayah non-Arab lainnya di sebelah Barat. Masalah ini mulai disadari oleh pimpinan dunia Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah, Irak, pada masa kekuasaan Mu’awwiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), riwayat lainmenyebutkan pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca al-Qur’an bagi generasi yang tidak hafal al-Qur’an.
Ad-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang sangat fatal, yakni surat at-Taubah. Atas perintah gubernur itu, as-Duwali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf, sebuah titik di bawah huruf sebagai tanda baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wau kecil di antara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa bagi konsonan mati.
Rasm al-Qur’an mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa periode berikutnya. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan memerintahkan al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf al-Qur’an . Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, dua orang murid ad-Dawali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antar satu dengan lainnya. Misalnya, penambahan titik diatas huruf dal yang kemudian menjadi dzal. Penambahan yang bervariasi pada sejumlah huruuf dasar ba yang kemudian menjadi huruf ba, nun , ta dan huruf dasar ha yang kemudian berubah menjadi kha, ha, dan jim. Huruf ra dibedakan dengan huruf za, huruf sin dibedakan dengan syin, huruf shad dibedakan dengan dhad, huruf tha dibedakan dengan zha, huruf ‘ain dibedakan dengan ghin, huruf fa dibedakan dengan qaf.
0 komentar:
Posting Komentar