Kata inseminasi berasal dari bahasa
Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara
teknologi bukan secara ilmiah. Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan
التلقيح dari kata
kerja لقَّح – يلقِّح yang artinya mengawinkan atau mempertemukan. Inseminasi terbagi
menjadi dua: a) Inseminasi alamiah yaitu pembuahan dengan cara hubungan
badan antara dua jenis makhluk biologis, b) Inseminasi buatan yaitu
penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara
alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita
dengan pertolongan dokter. Istilah lain yang semakna adalah kawin suntik. Sedangkan bayi tabung yaitu sel
telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam tempat
pembiakkan (cawan) yang sudah siap untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.
Hukum Inseminasi
Upaya inseminasi buatan dan bayi
tabung dibolehkan dalam Islam manakala perpaduan sperma dan ovum itu bersumber
dari suami-istri yang sah (Inseminasi Homolog) bisa juga disebut Artificial
Insemination Husband (AIH). Dan yang dilarang adalah inseminasi buatan dan
bayi tabung yang berasal dari perpaduan sperma dan ovum dari orang lain
(Inseminasi Heterolog) bisa juga disebut Artificial Insemination Donor
(AID).
Diantara Ulama yang membolehkan
inseminasi adalah Mahmud Syaltut, bahwa bila penghamilan tersebut menggunakan
air mani suaminya. Lebih lanjut beliau mengatakan …”dan tidak menimbulkkan dosa
dan noda”. Disamping itu tindakan yang demikian dijadikan sebagai suatu cara
untuk memperoleh anak yang syah menurut syari’at yang jelas ibu bapaknya.
Alasan lain dibolehkan inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri karena
berhubung ada kelainan perangkat dalam istri maupun suami.
Jadi prinsip dibolehkannya
inseminasi itu bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk
melakukannya dan bila tidak akan mengancam keutuhan rumah tangga (terjadi
perceraian) sesuai dengan kaidah Ushul
الحاجة تنزل منزلة الضرورة
“Hajat itu (keperluan yang sangat
penting) diberlakukan seperti keadaan darurat”
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa ''Bayi tabung dengan
sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh).
Sebab, ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.''
Sedangkan hasil inseminasi dengan
bantuan donor sperma dan ovum maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina.
Sebagai akibat hukumnya anak hasil inseminasi itu tidak syah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibunya yang melahirkan. Dalil yang dapat dijadikan landasan
menetapkan haramnya inseminasi dengan donor ialah:
Pertama firman Allah surat al-Israa’ ayat 70
yang artinya:
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa
manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan sehingga
melebihi makhluk-makhluk Allah lainnya. Allah sendiri berkenaan memuliakan
manusia maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabat sesama manusia.
Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat
merendahkan harkat martabat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedua, hadits Nabi yang mengatakan “Tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR Abu Dawud,
Tirmidzi, dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para
ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita
hamil dari istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau
tidak mengawini wanita hamil. Menurut Abu Hanifah boleh, asalkkan tidak
melakukan senggama sebelum kandungan lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan.
Hadits ini juga dapat dijadikan
dalil untuk mengharamkan inseminasi dengan donor sperma atau ovum, karena kata maa’
dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum.
Dalil lain untuk syarat kehalalan
inseminasi bagi manusia harus berasal dari sperma atau ovum pasangan yang sah
menurut syari’at adalah kaidah
درع المفسدة مقدم علي جلب المصلحة
“Menghindari mafsadah atau mudharat
harus didahulukan daripada mencari atau menarik maslahah”.
Adapun mengenai status anak hasil
inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hokum Islam adalah tidak sah
dan statusnya sama dengan hasil anak prostitusi atau zina. Kalau kita
bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 “Anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka
tampaknya memberi pengertian bahwa anak hasil inseminasi dengan donor itu dapat
dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan ayat
lain dalam UU Perkawinan, terlihat bagaimana peranan agama cukup dominan dalam
pengesahan sesuatu yang berrkaitan dengan perkawinan. Dan lagi, Negara kita
tidak menigzinkan inseminasi dengan donor sperma atau ovum karena tidak sesuai
dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar