Paham Mu’tazilah berawal dari pemahaman Abu Huzdaifah Washil bin ‘Atha Al-Ghazali pada zaman Abdul Malik bin Marwan dan anaknya yaitu Hisyam ibnu Abdul Malik. Dinamakan golongan Mu’tazilah karena Washil memisahkan diri karena berlainan pendapat dengan gurunya yakni Al-Hasan Al-Bashri.
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan theologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murjiah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Telah banyak simpang siurnya paham washil dan pengikutnya. Namun ada ciri khusus dari golongan Mu’tazilah. Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka menyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip Deskartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis) tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukan naql kepada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa pikiran-pikiran (akal) adalah sebelum sam’i. Untuk itu, mereka mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad.
Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan-pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak menentang pandangan gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat ayahnya sendiri.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam’ berpusat pada peristiwa yang terjadi antara ibn ‘Ata’ serta temannya “ Amr Ibn” Ubaid dan hasan Al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-basri di Masjid Basrah. Pada suatu ahli datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum khawarij memandang merekan kafie sedang kaum murjiah memandang mereka mukmin. Ketika hasan al-basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan :“saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapai mengmbil posisi diantara keduannya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari hasan Al- Bashri pergi ke tempat lian di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al-Bashri mengatakan; “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata Al-Syahlastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Menurut Al-baghdadi, washil dan teman-temannya, ‘Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan Al-Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan Qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari hasan Al-bashri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal oraang yang berdosa bessar. Menurut mereka, orang serupa ini tidak mu’min dan tidak pula kafir. Demikian keterangan Al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.
Selain nama mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama yang lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl Al- ‘Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan juga Ahl Al-Tauhid Wa al-‘adl, golongan yang mempertahankan Ke-Esaan murni dan keadilan Tuhan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Ia lahir di tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.
Aliran mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian:
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan theologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murjiah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Telah banyak simpang siurnya paham washil dan pengikutnya. Namun ada ciri khusus dari golongan Mu’tazilah. Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka menyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka gunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip Deskartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis) tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukan naql kepada hukum akal. Mereka menetapkan bahwa pikiran-pikiran (akal) adalah sebelum sam’i. Untuk itu, mereka mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad.
Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan-pandangan yang paling aneh dan absurd sekalipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, dimana seorang murid berhak menentang pandangan gurunya, bahkan anak pun boleh menentang pendapat ayahnya sendiri.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam’ berpusat pada peristiwa yang terjadi antara ibn ‘Ata’ serta temannya “ Amr Ibn” Ubaid dan hasan Al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-basri di Masjid Basrah. Pada suatu ahli datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai diketahui kaum khawarij memandang merekan kafie sedang kaum murjiah memandang mereka mukmin. Ketika hasan al-basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan :“saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapai mengmbil posisi diantara keduannya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari hasan Al- Bashri pergi ke tempat lian di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al-Bashri mengatakan; “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata Al-Syahlastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Menurut Al-baghdadi, washil dan teman-temannya, ‘Amr Ibn Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan Al-Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan Qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari hasan Al-bashri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal oraang yang berdosa bessar. Menurut mereka, orang serupa ini tidak mu’min dan tidak pula kafir. Demikian keterangan Al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.
Selain nama mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama yang lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl Al- ‘Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan juga Ahl Al-Tauhid Wa al-‘adl, golongan yang mempertahankan Ke-Esaan murni dan keadilan Tuhan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn Ata’. Ia lahir di tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basri.
Aliran mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian:
- Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan refleks dan lain-lain. Perbuatan ini jelas bukan diadakan manusia atau terjadi dengan sendirinya
- Perbuatan-perbuatan bebas, dimana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan (Khalq) manusia dari pada dikatakan diciptakan Tuhan, karena adanya alasan-alasan akal fikiran dan syarak’.
Alasan-alasan akal fikiran (dalil ‘aqliyah):
- Kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sebagaimana yang dikatakan Jabariah, maka apa perlunya ada taklif (perintah atau beban hukum) pada manusia?
- Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia dapat mengerjakan atau tidak dapat mengerjakan yang baik atau yang buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
Alasan-alasan Syara’ (dalil naqliyah):
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S. Ar- Ra’d: 11)
Artinya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(Q.S. Al-Zalzalah: 8)
...
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”(Q.S. An-Nisa: 123)
•
Artinya: “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(Q.S. Al- Kahfi: 29)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S. Ar- Ra’d: 11)
Artinya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(Q.S. Al-Zalzalah: 8)
...
Artinya:“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”(Q.S. An-Nisa: 123)
•
Artinya: “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”(Q.S. Al- Kahfi: 29)
Masih ada ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk. Ayat tersebut lebih tegas menetapkan adanya perbuatan manusia, dan ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bukan orang lain. Ayat-ayat ihtiyar justru lebih banyak jumlahnya daripada ayat-ayat jabar, disamping ayat-ayat lainnya yang mengumpulkan jabar dan ihtiyar, sehingga orang tidak perlu menekankan segi ihtiyar saja atau jabar saja.
Pandangan Mu’tazilah tentang manusia yang diberi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih (free will and free choice atau masyi-ah) sejalan dengan pandangan Abul A’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa Allah telah memberikan otonomi kepada manusia dalam bentuk ‘mukhayyar’ atau kebebasan memilih, yaitu memilih apakah ia akan mengikuti atau tidak mengikuti jalan Allah itu. Dengan dimilikinya kebebasan memilih, ia bebas untuk mengakui atau tidak mengakui realitas dari segala sesuatu itu. Manusia bisa menganggap dirinya sendiri bebas dari segala kewajiban terhadap Tuhan, dan boleh berfikir bahwa ia memiliki hak dan kekuasaan penuh atas segala yang dimiliki, dan bebas mempergunakan menurut keinginannya sendiri tanpa terikat pada suatu perintah siapa pun.
0 komentar:
Posting Komentar