Memajang foto keluarga dan para ulama dalam rumah merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh setiap orang baik dalam kamar, diruang tamu dan tempat strategis lainnya. Sebab dengan hiasan tersebut akan membuat rumah kita menjadi lebih indah dan menarik. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah boleh kita memajang foto didalam rumah yang kita tempati?
Dalam majalah Cahaya Nabawiy, dalam rubrik permasalahan hukum agama bersama Ust. Muhibbul Aman Aly, saya menemukan penjabaran yang begitu lengkap mengenai hukum memajang foto didalam rumah kita baik foto keluarga, ulama, maupun para Auliya.
Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya membuat atau menyimpan patung manusia dan binatang dalam bentuk utuh atau tidak utuh namun masih menggambarkan manusia atau binatang yang hidup, seperti terpotong tangannya atau kakinya saja. Berbeda apabila tidak dalam bentuk yang masih dapat hidup seperti terpotong kepalanya. Menurut sebagian ulama hukumnya boleh.
Hukum diatas berdasarkan beberapa hadits diantaranya:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas R. A. dan Abu Thalhah RA dari Rasulullah SAW bersabda: Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (HR. Bukhori)
Sedangkan hukum boneka dibolehkan jika digunakan untuk mainan anak perempuan. Ketika masih kecil,sayyidah Aisyah pernah bermain boneka disamping Rasulullah SAW dan beliau membiarkannya, seperti disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim.
Adapun mengenai hukum membuat atau menyimpan foto manusia atau hewan, para ulam berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan haram hukumnya menyimpan atau membuat foto bergambar manusia atau hewan secara utuh berdasar keumuman hadits diatas. Pendapat ini diantaranya disampaikan oleh Syekh Abu Yusuf Al-Hamami dalam kitab An-Nahdloh Al-Ishlahiyyah, beliau menyatakan bahwa membuat foto dengan alat kamera fotografi atau memperkenankan diri seseorang diambil gambarnya dengan kamera fotografi hukumnya haram.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum membuat gambar manusia atau hewan secara utuh boleh. Sedangkan yang dimaksud dengan gambar dalam hadits diatas adalah gambar hewan atau manusia utuh yang membentuk bayangan tiga dimensi, seperti patung atau ukiran timbul. Berbeda jika gambar hanya berbentuk dua dimensi seperti lukisan, maka hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan keterangan yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dari Al-Qosim bin Muhammad, salah satu ahli Fiqh Madinah dengan sanad yang shahih. Berkata Ibnu ‘Aun: “suatu ketika saya masuk ke rumah Qosim bin Muhammad di Makkah, kemudian aku melihat di kamarnya gambar Qundus (nama jenis binatang) dan gambar kambing.”
Pendapat tersebut menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, barangkali mengacu kepada keumuman dari hukum diperbolehkannya mengenakan baju yang bermotif gambar binatang, atau manusia sebagaimana pendapat Ibnu ‘Arobi dari kalangan Madzhab Maliki.
Diantara ulama yang membolehkan membuat atau menyimpan foto manusia atau hewan adalah Syekh Bukhit Al-Muthi’i Al-Hanafi, beliau menulis kitab yang khusus menjelaskan argumentasinya dengan judul “Al-Jawabu Al-Syafi fi Ibahati At-Tashwir Al-Futughrafi.”
Kemudian Syekh Salim Sa’id Bukayyir Baghitsan Mufti Tarim Hadramaut dalam fatwanya berkata: Aku lebih condong pada pendapat Syekh Bukhit Al-Muthi’i Al-Hanafi, sebab aku melihat banyak orang orang yang dikenal wara’, taqwa dan memiliki ilmu yang tinggi memperkenankan gambar dirinya diambil dengan alat fotografi (kamera), padahal tidak mungkin mereka akan membiarkan perbuatan haram.”
Dalam majalah Cahaya Nabawiy, dalam rubrik permasalahan hukum agama bersama Ust. Muhibbul Aman Aly, saya menemukan penjabaran yang begitu lengkap mengenai hukum memajang foto didalam rumah kita baik foto keluarga, ulama, maupun para Auliya.
Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya membuat atau menyimpan patung manusia dan binatang dalam bentuk utuh atau tidak utuh namun masih menggambarkan manusia atau binatang yang hidup, seperti terpotong tangannya atau kakinya saja. Berbeda apabila tidak dalam bentuk yang masih dapat hidup seperti terpotong kepalanya. Menurut sebagian ulama hukumnya boleh.
Hukum diatas berdasarkan beberapa hadits diantaranya:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas R. A. dan Abu Thalhah RA dari Rasulullah SAW bersabda: Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar. (HR. Bukhori)
Sedangkan hukum boneka dibolehkan jika digunakan untuk mainan anak perempuan. Ketika masih kecil,sayyidah Aisyah pernah bermain boneka disamping Rasulullah SAW dan beliau membiarkannya, seperti disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim.
Adapun mengenai hukum membuat atau menyimpan foto manusia atau hewan, para ulam berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan haram hukumnya menyimpan atau membuat foto bergambar manusia atau hewan secara utuh berdasar keumuman hadits diatas. Pendapat ini diantaranya disampaikan oleh Syekh Abu Yusuf Al-Hamami dalam kitab An-Nahdloh Al-Ishlahiyyah, beliau menyatakan bahwa membuat foto dengan alat kamera fotografi atau memperkenankan diri seseorang diambil gambarnya dengan kamera fotografi hukumnya haram.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hukum membuat gambar manusia atau hewan secara utuh boleh. Sedangkan yang dimaksud dengan gambar dalam hadits diatas adalah gambar hewan atau manusia utuh yang membentuk bayangan tiga dimensi, seperti patung atau ukiran timbul. Berbeda jika gambar hanya berbentuk dua dimensi seperti lukisan, maka hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan keterangan yang dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah dari Al-Qosim bin Muhammad, salah satu ahli Fiqh Madinah dengan sanad yang shahih. Berkata Ibnu ‘Aun: “suatu ketika saya masuk ke rumah Qosim bin Muhammad di Makkah, kemudian aku melihat di kamarnya gambar Qundus (nama jenis binatang) dan gambar kambing.”
Pendapat tersebut menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, barangkali mengacu kepada keumuman dari hukum diperbolehkannya mengenakan baju yang bermotif gambar binatang, atau manusia sebagaimana pendapat Ibnu ‘Arobi dari kalangan Madzhab Maliki.
Diantara ulama yang membolehkan membuat atau menyimpan foto manusia atau hewan adalah Syekh Bukhit Al-Muthi’i Al-Hanafi, beliau menulis kitab yang khusus menjelaskan argumentasinya dengan judul “Al-Jawabu Al-Syafi fi Ibahati At-Tashwir Al-Futughrafi.”
Kemudian Syekh Salim Sa’id Bukayyir Baghitsan Mufti Tarim Hadramaut dalam fatwanya berkata: Aku lebih condong pada pendapat Syekh Bukhit Al-Muthi’i Al-Hanafi, sebab aku melihat banyak orang orang yang dikenal wara’, taqwa dan memiliki ilmu yang tinggi memperkenankan gambar dirinya diambil dengan alat fotografi (kamera), padahal tidak mungkin mereka akan membiarkan perbuatan haram.”
0 komentar:
Posting Komentar